Senin, 05 Mei 2014

PBL



Project Based Learning ( pembelajaran berbasis proyek )
A.    Konsep Pembelajaran Berbasis Projek
Project-based learning atau pembelajaran berbasisi projek merupakan sebuah model pembelajaran yang sudah banyak dikembangkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Jika    diterjemahkan   dalam   bahasa   Indonesia,   project   based   learning bermakna   sebagai   pembelajaran   berbasis   proyek.    Project-based learning adalah sebuah model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks (Cord, 2001; Thomas, Mergendoller, & Michaelson, 1999; Moss, Van-Duzer, Carol, 1998).
Project-based learning berfokus pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip utama (central) dari suatu disiplin, melibatkan mahasiswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan tugas-tugas bermakna lainya, memberi peluang mahasiswa bekerja secara otonom mengkonstruk belajar mereka sendiri, dan puncaknya menghasilkan produk karya mahasiswa bernilai, dan realistik (Okudan. Gul E. dan Sarah E. Rzasa, 2004).  Berbeda dengan model-model pembelajaran tradisional yang umumnya bercirikan praktik kelas yang berdurasi pendek, terisolasi/lepas- lepas, dan aktivitas pembelajaran berpusat pada dosen, maka model project- based learning lebih menekankan pada kegiatan belajar yang relatif berdurasi panjang, holistik-interdisipliner, perpusat pada pebelajar, dan terintegrasi dengan praktik dan isu-isu dunia nyata.
Dalam project-based learning siswa belajar dalam situasi problem yang nyata, yang dapat melahirkan pengetahuan yang bersifat permanen dan mengorganisir proyek-proyek dalam pembelajaran (Thomas, 2000). Pembelajaran berbasis proyek  adalah suatu pendekatan pendidikan yang efektif yang berfokus pada kreatifitas berfikir, pemecahan masalah, dan interaksi antara siswa dengan kawan sebaya mereka untuk menciptakan dan menggunakan pengetahuan baru. Khususnya ini dilakukan dalam konteks pembelajaran aktif, dialog ilmiah dengan supervisor yang aktif sebagai peneliti (Berenfeld, 1996; Marchaim 2001; dan Asan, 2005). Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, project-based learning merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan faham pembelajaran konstruktivis yang menuntut peserta didik menyusun sendiri pengetahuannya (Doppelt, 2003). Konstruktivisme adalah teori belajar yang mendapat dukungan luas yang bersandar pada ide bahwa siswa membangun pengetahuannya sendiri di dalam konteks pengalamannya sendiri (Wilson, 1996). Pendekatan project-based learning dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendorong siswa mengkonstruk pengetahuan dan keterampilan secara personal.
Project-based learning memiliki potensi yang besar untuk membuat pengalaman belajar yang menarik dan bermakna bagi mahasiswa untuk memasuki lapangan kerja. Menurut Gaer (1998), di dalam project-based learning yang diterapkan untuk mengembangkan kompetensi setelah siswa bekerja di perusahaan, siswa menjadi lebih aktif di dalam belajar, dan banyak keterampilan yang berhasil dibangun dari proyek di dalam kelasnya, seperti keterampilan membangun tim, membuat keputusan kooperatif, pemecahan masalah kelompok, dan pengelolaan tim. Keterampilan-keterampilan tersebut besar nilainya ketika sudah memasuki lingkungan kerja.  dan merupakan keterampilan yang sukar diajarkan melalui pembelajaran tradisional.
B.     Landasan Pembelajaran Berbasis Projek
Kecenderungan abad XXI ditandai oleh peningkatan kompleksitas peralatan teknologi, dan munculnya gerakan restrukturisasi korporatif yang menekankan kombinasi kualitas teknologi dan manusia, menyebabkan dunia kerja akan memerlukan orang yang dapat mengambil inisiatif, berpikir kritis, kreatif, dan cakap memecahkan masalah. Hubungan “manusia-mesin” bukan  lagi merupakan hubungan mekanistik akan tetapi merupakan interaksi komunikatif yang menuntut kecakapan berpikir tingkat tinggi.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut mulai direspon oleh dunia pendidikan di Indonesia, yang semenjak tahun 2000 menerapkan empat pendekatan pendidikan, yakni (1) pendidikan berorientasi kecakapan hidup (life skills), (2) kurikulum dan pembelajaran berbasis kompetensi, (3) pembelajaran berbasis produksi, dan (4) pendidikan berbasis luas (broad- based education). Orientasi baru pendidikan itu berkehendak menjadikan lembaga pendidikan sebagai lembaga pendidikan kecakapan hidup, dengan pendidikan yang bertujuan mencapai kompetensi (selanjutnya disebut pembelajaran berbasis kompetensi), dengan proses pembelajaran yang otentik dan kontekstual yang dapat menghasilkan produk bernilai dan bermakna bagi siswa, dan pemberian layanan pendidikan berbasis luas melalui berbagai jalur dan jenjang pendidikan yang fleksibel  multi-entry-multi- exit (Depdiknas, dalam Waras, 2007). Pendidikan berorientasi kecakapan hidup, pembelajaran berbasis kompetensi, dan proses pembelajaran yang diharapkan menghasilkan produk yang bernilai,  menuntut lingkungan belajar yang kaya dan nyata (rich and natural environment), yang dapat memberikan pengalaman belajar dimensi- dimensi kompetensi secara integratif.
Lingkungan belajar yang dimaksud ditandai oleh: 1. Situasi belajar, lingkungan, isi dan tugas-tugas yang relevan, realistik, otentik, dan menyajikan kompleksitas alami “dunia nyata”; 2. Sumber-sumber data primer digunakan agar menjamin keotentikan dan kompleksitas dunia nyata; 3. Mengembangkan kecakapan hidup dan bukan reproduksi pengetahuan; 4. Pengembangan kecakapan ini berada di dalam konteks individual dan melalui negosiasi sosial, kolaborasi, dan pengalaman; 5. Kompetensi sebelumnya, keyakinan, dan sikap dipertimbangkan sebagai prasyarat; 6. Keterampilan pemecahan masalah, berpikir tingkat tinggi, dan pemahaman mendalam ditekankan; 7. siswa diberi peluang untuk belajar secara apprenticeship di mana terdapat penambahan kompleksitas tugas, pemerolehan pengetahuan dan keterampilan; 8. Kompleksitas pengetahuan dicerminkan oleh penekanan belajar pada keterhubungan konseptual, dan belajar interdisipliner; 9. Belajar kooperatif dan kolaboratif diutamakan agar dapat mengekspos siswa ke dalam pandangan-pandangan alternatif; dan 10. Pengukuran adalah otentik dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran (Simons, dalam Waras,  2007). Memperhatikan karakteristiknya yang unik dan komprehensif, model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning) cukup potensial untuk memenuhi tuntutan pembelajaran tersebut.
Model Pembelajaran Berbasis Proyek membantu siswa dalam belajar: (1) pengetahuan dan keterampilan yang kokoh dan bermakna-guna (meaningful-use) yang dibangun melalui tugas-tugas dan pekerjaan yang otentik (Cord, 2001; Hung & Wong, 2000; Myers & Botti, 2000; Marzano, 1992); (2) memperluas pengetahuan melalui keotentikan kegiatan kurikuler yang terdukung oleh proses kegiatan belajar melakukan perencanaan (designing) atau investigasi yang open-ended, dengan hasil atau jawaban yang tidak ditetapkan sebelumnya oleh perspektif tertentu; dan (3) dalam proses membangun pengetahuan melalui pengalaman dunia nyata dan negosiasi kognitif antarpersonal yang berlangsung di dalam suasana kerja kolaboratif.
C.    Langkah – Langkah Dalam Droses Pembelajaran Berbasis Projek
Secara lebih rinci, model pembelajaran berbasis proyek mengikuti lima langkah utama, yaitu:
1.    Menetapkan  tema proyek
2.    Menetapkan konteks belajar
3.    Merencanakan aktivitas
4.    Memproses aktivitas, dan
5.    Penerapan aktivitas (Santyasa, 2006).

1.    Menetapkan tema proyek.
Tema proyek hendaknya memenuhi indikator-indikator berikut:
a.          Memuat gagasan yang penting dan menarik
b.         Mendeskripsikan masalah kompleks
c.          Mengutamakan pemecahan masalah.
2.    Menetapkan konteks belajar.
Konteks belajar hendaknya memenuhi indikator-indikator berikut:
a.         Mengutamakan otonomi siswa
b.        Melakukan inquiry
c.         Siswa mampu mengelola waktu secara efektif dan efesien
d.        Siswa belajar penuh dengan kontrol diri dan bertanggung jawab
3.    Merencanakan aktivitas-aktivitas.
Pengalaman belajar terkait dengan merencanakan proyek adalah mencari sumber yang berkait dengan tema proyek.
4.      Memproses aktivitas-aktivitas.
Indikator-indikator memroses aktivitas meliputi antara lain:
a.       Membuat sketsa
b.      Melukiskan analisa rancangan proyek.
5.   Penerapan aktivitas-aktivitas untuk menyelesaikan proyek. Langkah-langkah yang dilakukan, adalah:
a.       mengerjakan proyek berdasarkan sketsa
b.      membuat laporan terkait dengan proyek, dan
c.       mempresentasikan proyek
Kelima langkah tersebut mengandung interpretasi bahwa dalam mengerjakan proyek, siswa dapat berkolaborasi dan melakukan investigasi dalam kelompok kolaboratif antara 4-5 orang. Keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dan dikembangkan oleh siswa dalam tim adalah merencanakan, mengorganisasikan, negosiasi, dan membuat konsensus tentang tugas yang dikerjakan, siapa yang mengerjakan apa, dan bagaimana mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dalam berinvestigasi. Keterampilan yang dibutuhkan dan yang akan dikembangkan oleh siswa merupakan keterampilan yang esensial sebagai landasan untuk keberhasilan proyek mereka. Keterampilan-keterampilan yang dikembangkan melalui kolaborasi dalam tim menyebabkan pembelajaran menjadi aktif, di mana setiap individu memiliki keterampilan yang bervariasi sehingga setiap individu mencoba menunjukkan keterampilan yang mereka miliki dalam kerja tim mereka. Pembelajaran secara aktif dapat memimpin siswa ke arah peningkatan keterampilan dan kinerja ilmiah. Kinerja ilmiah tersebut mencakup prestasi akademis, mutu interaksi hubungan antar pribadi, rasa harga diri, persepsi dukungan sosial lebih besar, dan keselarasan antar para siswa
D.    Intregasi Pembelajaran Berbasis Projek Dengan Kompetensi Soft Skill
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rais, dkk (2009), terkait dengan model pengembangan strategi project-based learning dalam upaya menumbuhkan sikap kemandirian belajar siswa, motivasi belajar siswa, dan kemampuan pemecahan masalah yang direpresentasikan sebagai kecakapan akademik umumnya memiliki nilai skor mean pre test yaitu sebesar  62,3 dan mean skor post testnya adalah sebesar 81,58. Perbedaan nilai skor ini menunjukkan  peningkatan yang cukup signifikan yaitu terkait kecakapan akademik (soft skill) yang meliputi  kemandirian belajar mahasiswa, motivasi belajar siswa, dan kemampuan pemecahan masalah menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Hasil ini sekaligus menegaskan bahwa antara project-based learning dengan soft skills dapat saling terkait, karena variabel yang hendak diprediksikan dalam project-based learning dapat diwakili oleh sebagian dari nilai-nilai atau aspek yang terkandung dalam soft skills. Soft skills merupakan terminasi sosiologis dalam Emotional Intelligence Quotient (EQ) seseorang, yang merupakan kemampuan bagaimana orang-orang berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, seperti berkomunikasi, mendengarkan, memberi umpan balik, bekerja sama dalam sebuah tim, menyelesaikan masalah, berkontribusi dalam rapat, dan mengatasi konflik (Wikipedia, 2010).
Kemampuan siswa mengitegrasikan soft skills dalam dirinya ditandai dengan kemampuan bekerjasama, mengambil insiatif, keberanian mengambil keputusan, dan kegigihan (Wicaksana, 2010).  Sharma (2009), menyebutkan bahwa soft skills adalah seluruh aspek dari generic skills yang juga termasuk elemen-elemen kognitif yang berhubungan dengan non-academic skills. Ditambahkan pula bahwa, berdasarkan hasil penelitian, tujuh soft skills yang diidenfikasi dan penting dikembangkan pada mahasiswa di pendidikan tinggi, meliputi; keterampilan berkomunikasi (communicative skills), keterampilan berpikir dan menyelesaikan masalah (thinking skills and problem solving skills), kekuatan kerja tim (team work force), belajar sepanjang hayat dan pengelolaan informasi (life-long learning and information management), keterampilan wirausaha (entrepreneur skill), etika, moral dan profesionalisme (ethics, moral and professionalism), dan keterampilan kepemimpinan (leadership skills).
Integrasi kompetensi soft skill melalui strategi project-based learning dapat dilakukan dengan menyatukan program-program seperti: komunikasi lisan (oral communications), kerjasama (collaboration), keterampilan kelompok (team skills), keterampilan presentase (presentation skills), keterampilan berpikir kritis dan analits (analiytical and critical thinking skills) (Woodward, Sendall, and Ceccucci, 2009). Noll & Wilkins (2005) menyatakan bahwa soft skills dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang mencakup kecakapan menulis, kecakapan bekerja dalam tim, kecakapan presentase, mengelola proyek, dan mengembangkan hubungan interpersonal. Project-based learning sebagai salah satu strategi pembelajaran yang berusaha memberikan kemandirian bagi siswa dalam bekerja sama, membentuk tim proyek merumuskan ide dan gagasan secara berkelompok dan melaporkan gagasan proyek melalui presentase kelompok merupakan sinergi yang akan menghipotetikkan bahwa aspek-aspek yang terkait dengan soft skills seperti: kemampuan menyelesaikan masalah, kerjasama, kepemimpinan, kemampuan merencanakan dan tanggungjawab tim dapat diwujudkan. Kuncinya adalah dengan memahami makna dan skenario yang dikonstruksikan oleh strategi project-based learning baik oleh guru, dosen dan tenaga pengajar lainnya maupun oleh peserta didik (siswa dan mahasiswa).
E.     Tahap – Tahap Pembelajaran Berbasis Projek
Sama seperti pembelajaran pada umumnya, strategi pembelajaran berbasis proyek terdiri atas tiga tahapan utama, yaitu:
a.       Tahap perencanaan pembelajaran proyek.
b.      Tahap pelaksanaan pembelajaran proyek.
c.       Tahap evaluasi pembelajaran proyek.


A.    Perencanaan.
Mengingat perencanaan strategi pembelajaran berbasis proyek harus disusun secara sistematis maka langkah – langkah perencanaan dirancang sebagai berikut:
1.      Merumuskan tujuan pembelajaran atau proyek.
2.      Menganalisis karakteristik siswa.
3.      Merumuskan strategi pembelajaran.
4.      Membuat lembar kerja.
5.      Merancang kebutuhan sumber belajar.
6.      Merancang alat evaluasi.
B.     Pelaksanaan.
Agar proses pelaksanaan praktik kejuruan dengan menggunakan strategi pembelajaran berbasis proyek ini berjalan dengan baik, ada beberapa kegiatan yang dilakukan:
1.      Mempersiapkan sumber belajar yang disiapkan.
2.      Menjelaskan tugas proyek dan gambar kerja.
3.      Mengelumpukkan siswa sesuai dengan tugas masing – masing.
4.      Mengerjakan proyek.
C.     Evaluasi.
Tahap evaluasi merupakan tahap penting dalam pembelajaran berbasis proyek. Agar guru mengetahui sejauh mana tujuan pembelajaran praktik dapat tercapai. Penilaian melalui tugas dilakukan terhadap tugas yang dikerjakan siswa secara individu atau kelompok untuk periode tertentu. Tugas sering berkaitan dengan pengumpulan data/bahan, analisis data, penyajian data atau bahan, dan pembuatan laporan. Penilaian tugas dapat dilakukan terhadap proses selama pengerjaan tugas atau terhadap hasil tugas akhir. Dengan demikian guru dapat menetapkan hal – hal yang perlu dinilai. Pelaksanaan penilaian dapat menggunakan daftar cek (checklist) atau skala penilaian (rating scale).
Keberhasilan penerapan pembelajaran berbasis proyek pada siswa tergantung dari rancangan tahap pembelajaran. Tahap pelajaran yang dirancang harus dapat menggali penemuan-penemuan mereka sendiri. Peran pendidik dalam pembelajaran ini adalah sebagai mediator dan fasilitator, di mana dalam penerapan pembelajaran berbasis proyek, pendidik harus mampu memotivasi siswa untuk mengemukakan pendapat mereka dalam presentasi proyek secara demokratis.

F.     Penilaian Dalam Pembelajaran Berbasis Projek Terkait Dengan Soft Skills Siswa
Salah satu bentuk penilaian dalam project-based learning adalah dengan menggunakan rubrik penilaian. Menurut Stevens & Levi (2005), rubrik merupakan alat penskoran yang dapat mengukur secara spesifik tugas-tugas pebelajar dan bermanfaat dalam menjelaskan deskripsi tugas, memberikan informasi bobot penilaian, memperoleh umpan balik yang cepat dan akurat, serta penilaian lebih objektif dan konsisten.
Rubrik dalam penilaiannya melihat empat bagian dasar yang akan mengukur suatu tugas, yaitu 1) deskripsi tugas, 2) skala, 3) dimensi rubrik, dan 4) deskripsi dari dimensi tugas. Dalam penelitian ini rubrik penilaian penelitian didesain dengan mengacu pada keempat syarat tersebut (Steven & Levi, 2005). Skala penilaian digunakan untuk mengukur kagiatan mahasiswa, misalnya kegiatan pada proses pelaksanaan proyek. Kegiatan pada proses pelaksanaan proyek dapat berupa unjuk kerja, langkah kerja & keselamatan kerja, ketepatan waktu praktek, kerjasama tim dalam praktek. Contoh penilaiannya adalah seperti dalam Tabel 1 berikut:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar